Wonosobo menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk kunjungan akhir peka. Hal ini menjadi salah satu modal awal dari kopi lesung untuk mampu berkembang di kota yang sejuk ini. Diawali dengan Kata “Wonosobo” berasal dari bahasa Jawa :Wanasaba, yang secara harfiah berarti “tempat berkumpul di hutan”. Bahasa Jawa sendiri mengambilnya dari bahasa Sansekerta : vanasabhā yang artinya kurang lebih sama. Kedua kata ini juga dikenal sebagai dua buku dari Mahabarata “Sabhaparwa” dan “Wanaparwa“. Semuanya sama yang berarti berkumpul di hutan.

Banyak sekali cerita dan legenda yang ada di Wonosobo, namun ada beberapa cerita. Berdasarkan cerita rakyat yang bisa di percaya, pada awal abad ke-17 ada 3 orang pengelana bernama Kyai Kolodete, Kyai Karim dan Kyai Walik. Mereka mulai merintis permukiman yang diketahui saat ini bernama Wonosobo. Selanjutnya, Kyai Kolodete bermukim di Dataran Tinggi Dieng, Kyai Karim bermukim di daerah Kalibeber dan Kyai Walik bermukim di sekitar Kota Wonosobo sekarang. Makam dari kyai walik berada di Masjid Al Manshur..

Salah seorang cucu Kyai Karim juga sebagai salah seorang penguasa Wonosobo. Cucu Kyai Karim tersebut dikenal sebagai Ki Singodewono yang telah mendapat hadiah suatu tempat di Selomerto dari Keraton Mataram serta diangkat dan namanya diganti menjadi Tumenggung Jogonegoro. Pada masa ini pusat kekuasaan dipindahkan ke Selomerto. Setelah meninggal dunia, Tumenggung Jogonegoro dimakamkan di Desa Pakuncen.

Selanjutnya pada masa Perang Diponegoro (1825-1830), Wonosobo merupakan salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Diponegoro. Beberapa tokoh penting yang mendukung perjuangan Diponegoro adalah Imam Misbach atau kemudian dikenal sebagai Tumenggung Kertosinuwun, Mas Lurah atau Tumenggung Mangkunegaraan, Gajah Permodo dan Kyai Muhamad Ngarpah.

Dalam pertempuran melawan Belanda, Kyai Muhamad Ngarpah berhasil memperoleh kemenangan yang pertama. Atas keberhasilan itu, Pangeran Diponegoro memberikan nama kepada Kyai Muhamad Ngarpah dengan nama Tumenggung Setjonegoro. Selanjutnya Tumenggung Setjonegoro diangkat sebagai penguasa Ledok dengan gelar nama Tumenggung Setjonegoro.

Eksistensi kekuasaan Setjonegoro di daerah Ledok ini dapat dilihat lebih jauh dari berbagai sumber termasuk laporan Belanda yang dibuat setelah Perang Diponegoro berakhir. Disebutkan pula bahwa Setjonegoro adalah bupati yang memindahkan pusat kekuasaan dari Selomerto ke daerah Kota Wonosobo saat ini.

Dari hasil seminar Hari Jadi Wonosobo 28 April 1994, yang dihadiri oleh Tim Peneliti dari Fakultas Sastra UGM, Muspida, Sesepuh dan Pinisepuh Wonosobo termasuk yang ada di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Pimpinan DPRD dan Pimpinan Komisi serta Instansi Pemerintah Wonosobo yang telah menyepakati Hari Jadi Wonosobo jatuh pada tanggal 24 Juli 1825.

Sebagian besar wilayah Kabupaten Wonosobo adalah daerah pegunungan. Bagian timur (perbatasan dengan Kabupaten Temanggung) terdapat dua gunung yaitu: Gunung Sindoro  (3.136 meter) dan Gunung Sumbing (3.371 meter). Daerah utara merupakan bagian dari Dataran Tinggi Dieng dengan puncaknya Gunung Prahu (2.565 meter). Di sebelah selatan, terdapat Waduk Wadaslintang. Dari dasar geografi ini lah, pertumbuhan kopi di Wonosobo menjadi salah satu kopi terbaik di Indonesia

Sumber : Eksklopedia sejarah Wonosobo

Ayo Chat
Chat dengan kami
Hai
Ada yang bisa kami bantu?